Kamu pasti sering dong mendengar pernyataan, “usaha tidak akan
menghianati hasil”. Namun katakanlah usaha tidak pernah menghianati hasil, tapi
bisa saja hasil yang menghianati usaha bukan? Contoh nyatanya di dunia ini,
kita sudah mati-matian mengusahakan sesuatu dan ternyata kita gagal mendapat
apa yang ingin kita capai. Di saat seperti itu kita mungkin bisa mengatakan
“hasil sedang menghianati usaha kita”
Nah, salah satu kisah nyata disampaikan seseorang pada saya. Ini
tentang usaha kerasnya, yang entah mengapa seakan tak pernah ternilai di mata
orang terkasihnya, ibu mertua. Mari sejenak meminjamkan ruang ini untuknya
untuk bercerita.
***
Hai sahabat, sudahkah kamu
menikah dan menjadi ibu sepertiku? Jika belum, syukuri saja, mungkin Tuhan
masih enggan membiarkanmu terluka sepertiku.
Saat menerima seseorang menjadi
suamimu, artinya kamu sudah harus siap mencintai keluarganya termasuk ibunya,
ayahnya, dan saudara-saudaranya. Aku pun sama, berusaha sebaik mungkin untuk
memperlakukan segenap keluarga suamiku seperti keluargaku sendiri. Maka
berbagai upaya pun aku lakukan, dan di awal –awal pernikahan mereka
memperlakukanku dengan cukup baik.
Waktu berjalan, aku merasa ibu
mertua selalu membanding-bandingkan aku dengan menantu-menantunya yang lain. Padahal
meski kebutuhan hidup keluargaku banyak, setiap bulan aku tetap menyisihkan
sedikit uang untuk membantu keperluannya. Tapi entah mengapa, setiap kali aku,
dan istri-istri saudara suamiku berkumpul, sedikit banyak ibu mertuaku seolah
memamerkan betapa berbaktinya mereka. Barang-barang yang mereka berikan, dan
lain sebagainya. Aku jadi sedih,bukannya ingin juga disebutkan kebaikanku,
hanya merasa aku sebagai sosok yang disudutkan kala itu. Padahal kenyataannya,
aku sebagai anak yang tinggal berdekatan rumah beliau, sedikit banyak akulah
yang kerap membantu ibu mertua. Hanya saja, aku seakan dianggap tidak ada,
tidak bernilai.
Bukan hanya sekali, dua kali, ibu
mertuaku seolah ikut campur pada rumah tanggaku dan suami. Satu waktu ia
berpendapat tentang mengapa rumah kami masih saja kecil, tak kunjung direnovasi
seperti saudara-saudara lainnya. Tidak cuma itu, ada saja ini itu yang
dikomentarinya. Sesekali waktu aku menyadari jika ibu mertuaku ingin yang
terbaik untuk anak-anaknya. Tapi aku dan suami juga memiliki pertimbangan,
punya prioritas, dan punya rencana sendiri. Terlebih putra kami mulai besar dan
butuh dana segar untuk biaya pendidikannya. Seakan tutup mata pada hal
tersebut, ibu mertuaku terus saja berusaha mencampuri.
Suatu hari suamiku mengerti
posisiku, ketika aku kesal pada ibunya. Tapi di saat lain, iya nampak kesal
kepadaku. Suatu kali juga ia pernah menyudutkanku ketika memberi penjelasan
tentang sikap ibunya yang sudah mulai kelewatan. Ah, entahlah, kalau sudah
begini aku benar-benar ingin memiliki rumah jauh dari ibu mertuaku. Bukannya
tidak ingin menemani masa tuanya, hanya berusaha menjaga keutuhan keluargaku,
berusaha mempertahankan kebahagiaan hatiku. Sebab tak bisa aku pungkiri,
hidupku seakan dibayang-bayangi sesuatu yang membuat bernafas sesak, dan makan pun
jadi tak enak.
Sekali lagi aku mencoba, cara
ini, cara itu, agar bisa diterima seperti menantu-menantu lain. Satu hal yang
aku tak bisa melakukannya berlama-lama, yaitu menemani ibu mertua, dan
ipar-iparku menggosip, berbicara tak tentu tujuan. Meski sudah kucoba, aku
tetap tak bisa. Akhirnya, aku lebih memilih menyibukkan diri entah melakukan
apa. Kadang berpikir, hal itu yang membuat ibu mertuaku bertambah tidak menyukaiku.
Ah, itulah hidupku, aku berusaha
bersyukur dengan apa yang kupunya sekarang. Tapi jujur, aku ingin bahagia tanpa
dibayangi seseorang, tanpa tiap waktu disudutkan, tanpa menanggung lelah dan
air mata. Dan Ya Tuhan, maafkan aku jika
ini berdosa. Aku ingin memiliki rumah sedikit jauh dari ibu mertuaku. Aku,
hanya ingin bahagia. Dan sesekali mengunjunginya di akhir minggu, untuk tetap
berbakti dan menemani masa tuanya.
Sahabat, jika kiranya kau ingin
berbagi atau menasehatiku tentang apa yang harus aku lakukan, maka katakanlah.
Jikalau memang tidak ada, terima kasih untuk mendengarkan kisahku ini. Semoga kita semua bahagia ya.
***
Terima kasih untuk bercerita. Tuhan tahu, hanya sedang menunggu. Bersabarlah kawan.
Speechless
ReplyDeleteSemoga aku nanti bisa jadi mamer yg baik
Aamiin...
DeleteSpeechless . Tak tau harus Komen apalagi, karena cerita Kita sama persis . Parahnya lagi, Saya masih serumah dengan mertua Dan kakak suamiku, yang selalu menjadi 'penyakit' dan memperburuk keadaan .
ReplyDeleteSemangat mbak, i stand for you
DeleteCuma bisa bilang SABAR, kita punya masalah dgn mertua cuma berbeda permasalahannya.
ReplyDeleteEntah sampai kapan...